Perang Bola

Perang Sepak Bola, juga dikenal sebagai Perang Seratus Jam, adalah perang selama 4 hari antara El Salvador dan Honduras pada tahun 1969. Perang ini disebabkan oleh konflik politik antara Honduras dan Salvador. Ketegangan antara kedua negara meningkat karena kompetisi dalam ronde kualifikasi Piala Dunia FIFA 1970. Permainan pertama berlangsung di ibu kota Honduras Tegucigalpa, dan berakhir dengan kemenangan Honduras. Pertandingan kedua diadakan di ibu kota Salvador San Salvador, dan berhasil dimenangkan oleh Salvador. Media Honduras melaporkan terjadinya pemukulan, pembakaran mobil, dan kerusuhan oleh penduduk Honduras di Salvador, sementara, media Salvador melaporkan penduduk dan polisi Honduras menyerang imigran Salvador. Permusuhan akibat pertandingan sepak bola segera berubah menjadi pemutusan hubungan diplomatik. Pada 14 Juli 1969, tentara Salvador menyerang Honduras. Organization of American States menegosiasikan gencatan senjata yang dimulai pada 20 Juli, dan akhirnya tentara Salvador mundur pada awal Agustus.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang bola salju adalah sebuah permainan fisik dimana bola-bola salju dilemparkan dengan tujuan menyerang orang lain. Permainan tersebut mirip dengan dodgeball, namun biasanya kurang terorganisir. Kegiatan tersebut biasanya dimainkan pada musim dingin saat terjadi hujan salju.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang Sepak Bola (La guerra del fútbol dalam bahasa Spanyol), juga dikenal sebagai Perang Seratus Jam, adalah perang selama 4 hari antara El Salvador dan Honduras pada tahun 1969. Perang ini disebabkan oleh konflik politik antara Honduras dan Salvador. Ketegangan antara kedua negara meningkat karena kompetisi dalam ronde kualifikasi Piala Dunia FIFA 1970. Permainan pertama berlangsung di ibu kota Honduras Tegucigalpa, dan berakhir dengan kemenangan Honduras. Pertandingan kedua diadakan di ibu kota Salvador San Salvador, dan berhasil dimenangkan oleh Salvador. Media Honduras melaporkan terjadinya pemukulan, pembakaran mobil, dan kerusuhan oleh penduduk Honduras di Salvador, sementara, media Salvador melaporkan penduduk dan polisi Honduras menyerang imigran Salvador. Permusuhan akibat pertandingan sepak bola segera berubah menjadi pemutusan hubungan diplomatik. Pada 14 Juli 1969, tentara Salvador menyerang Honduras. Organization of American States menegosiasikan gencatan senjata yang dimulai pada 20 Juli, dan akhirnya tentara Salvador mundur pada awal Agustus.[1]

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

LET THE TRUTH OUT (PRISON 1,…

Presiden FIFA Gianni Infantino didapuk berbicara dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali dalam acara makan siang. Dengan gembira, ia memberikan bola yang resmi dipakai dalam Piala Dunia 2022 Qatar kepada para pemimpin negara. Lalu ia menyelipkan pesan bahwa bermain bola adalah kegemaran masyarakat dunia yang bisa membuat damai. Pada ujungnya, ia mengimbau agar gencatan senjata diberlakukan di bumi ini saat Piala Dunia bergulir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Infantino tidak menyebutkan gencatan senjata itu dalam perang Ukraina–Rusia. Ia berbicara perang secara umum yang harus jeda ketika “perang bola” tengah bergulir. Secara kebetulan, pada hari yang sama, rudal pun jatuh di Polandia menewaskan dua orang. Belum jelas siapa yang harus disalahkan atas jatuhnya rudal itu. Namun perang Ukraina–Rusia tampaknya tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan oleh “perang bola” di Qatar.

KTT G20 sudah berakhir. Presiden FIFA Infantino, yang sempat berkampanye bagaimana hajatan bola bisa meningkatkan perekonomian dunia dan menciptakan kedamaian, sudah terbang ke Qatar. Dan malam ini, pesta bola itu resmi dimulai. Tim nasional Qatar akan bertanding melawan Ekuador dalam acara pembukaan. Saatnya jutaan orang dari berbagai belahan dunia akan berfokus berbicara tentang bola. Ke mana pun kita pergi, pasti yang digosipkan bola, kecuali mungkin menutup diri ke gua-gua di hutan.

Bola siap menyihir miliaran warga dunia. Sepak bola bisa menyatukan dunia, setidaknya mampu meniadakan sekat-sekat perbedaan politik. Juga sekat-sekat lain, seperti suku bangsa, agama, kehidupan sosial, dan seterusnya. Entahlah jika dibawa ke situasi negara kita saat ini, apakah bisa melupakan sejenak perseteruan para relawan Ganjar Pranowo dengan relawan Anies Baswedan ketika menyebut nama Ronaldo, Messi, atau Mohamed Salah.

Qatar baru pertama kali menjadi penyelenggara Piala Dunia. Hajatan empat tahunan ini juga pertama kalinya digelar di Jazirah Arab. Jika dibawa ke tingkat Asia, Piala Dunia Qatar ini baru yang kedua kalinya setelah, pada 2002, Jepang dan Korea Selatan menjadi tuan rumah bersama. Ini menjelaskan betapa sepak bola itu selama ini hanya berkutat di Eropa. Belahan dunia lain hanyalah pelengkap.

Gianni Infantino jelas mengatakan hal itu dalam forum KTT G20. Ia menyebutkan besaran GDP (gross domestic product atau produk domestik bruto) yang dihasilkan sepak bola mencapai US$ 300 miliar (atau sekitar Rp 4.658 triliun) secara global. Namun 70 persen dari hasil itu dirasakan di Eropa saja. Padahal penggemar bola hampir 90 persen ada di luar Eropa. Kalau pemerataan itu terjadi, besaran GDP bisa meningkat dua kali.

Apakah bisa Piala Dunia Qatar dijadikan ajang kebangkitan sepak bola di luar Eropa? Seharusnya bisa. Apalagi, dalam sejarahnya, Piala Dunia yang pertama kali digelar FIFA berlangsung di Uruguay, Amerika Latin, pada Juli 1930. Yang berlaga hanya 13 negara, tujuh dari Amerika Selatan, empat dari Eropa, dan dua dari Amerika Utara. Sulitnya perjalanan saat itu menjadi kendala minimnya negara yang ikut Piala Dunia. Kini, dalam situasi yang serba mudah, Piala Dunia diikuti 32 negara dan Piala Dunia empat tahun nanti direncanakan membengkak menjadi 48 negara.

Indonesia harus melecut dirinya menjadi bagian dari pemerataan sepak bola itu. Jangan cuma menjadi penggemar, apalagi sok menjadi komentator. Jumlah penduduk menjadi modal besar. Fasilitas pun memadai, apalagi ada tekad baru untuk membuat stadion yang berstandar internasional. Sekaranglah momentum terbaik untuk itu ketika sepak bola di Tanah Air direhatkan untuk berbenah menuju pembaruan setelah tragedi Kanjuruhan. Akankah momentum ini diambil atau sepak bola kita tak pernah bisa bangkit di tingkat dunia? Jadikan “perang bola” hanya ada di lapangan dan sudahi “perang suporter” yang menghancurkan bola itu. PSSI harus bisa.